November 30, 2023

OPINI

Di Manakah Derajat Diri Ini?

Oleh: H. J. Faisal

Kyai Fawaid Abdullah pernah menulis di dalam sebuah artikelnya, yang diterbitkan oleh Tebuireng.online, bahwa menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H) dalam kitabnya yang fenomenal Ihya Ulumuddin, ada tiga tingkatan derajat manusia berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dimilikinya.

Siapa sajakah mereka?

Derajat manusia tingkat pertama, mereka adalah manusia yang menempati tingkatan derajat mulia. Siapakah mereka? Mereka adalah manusia-manusia yang selalu berusaha mencari ilmu dan kebenaran yang datangnya dari Allah Ta’alla dan selalu berusaha untuk mendapatkan tingkatan derajat ketakwaan yang sepenuhnya, dan bukan derajat ketakwaan yang setengah-setengah. Bahkan menurut Imam Al-Ghazali, kemuliaan manusia-manusia tersebut dapat mendekati kemuliaan malaikat.

Derajat manusia tingkat kedua, mereka yang menempati derajat setara dengan tumbuhan dan bebatuan yang keras. Siapakah mereka? Menurut Imam Ghazali, mereka adalah manusia-manusia yang keras hati dan sulit menerima ilmu tetapi banyak bicara, dan sulit menerima petunjuk atas kebaikan. Menerima ilmu dan kebaikan saja sulit, apalagi keinginan untuk mencari ilmu dan kebaikan itu sendiri, pasti sudah tidak ada samasekali.

Manusia-manusia semacam ini biasanya lebih senang dengan tradisi amaliyah yang tidak jelas tuntunannya, dan lebih percaya kepada hal-hal mistis takhayul yang bersifat khurafat semata. Membicarakan keburukan orang lain sudah menjadi hobinya yang mendarah daging, bergibah dan bergosip, dan lebih senang kepada sesuatu yang menghasilkan keributan atau perdebatan kosong semata, daripada mencari kebenaran yang sebenarnya. Pendapat orang lain tentang kebaikan pun akan diabaikannya, karena menganggap pendapatnya yang lebih benar, meskipun tanpa dasar kebenaran, dan akhirnya pembenaranlah yang menjadi dasarnya.

Derajat manusia tingkat ketiga atau tingkat paling rendah, adalah derajat seburuk-buruknya manusia. Imam Ghazali mengatakan bahwa model manusia dengan derajat ini setara dengan derajat hewan buas dan menjijikan, seperti ular, kalajengking, tikus, dan binatang buas berbisa lainnya.

Mereka adalah manusia dengan tipe yang berbentuk dan berwajah manusia, namun hati dan sikapnya telah dikuasai oleh syetan. Mereka sudah tidak dapat diberikan nasihat, tidak dapat menerima kebaikan, berzina, membunuh, merampok, membuat berita bohong (hoax), munafik, dan senang membuat fitnah yang keji dan berbuat onar.

Menurut Imam Gazhali, untuk tipe manusia yang menempati derajat yang kedua masih ada kemungkinan untuk menerima kebaikan, meskipun sulit. Tetapi untuk tipe manusia dengan tingkatan derajat yang ketiga, hal tersebut sudah hampir tidak mungkin, sehingga derajatnya setara bahkan lebih rendah dari hewan buas dan menjijikkan.

Imam Ghazali pun memberi solusi yang sifatnya satire, agar manusia dapat mengenali dimana derajat dirinya yang sesungguhnya, yaitu jika seorang manusia tidak mampu untuk berbuat kebaikan, keras hati dan keras kepala, tidak mampu untuk bergaul dengan sesama manusia, maka Imam Ghazali menyarankan untuk menyendiri (ber-uzlah) atau lebih banyak diam.

Mengapa demikian? Karena jika dia memaksakan diri untuk tetap bergaul dengan sesama manusia disertai dengan sifatnya yang keras hati, keras kepala, atau egois, dikhawatirkan dia akan melukai hati orang lain dan mempermalukan dirinya sendiri. Setelah manusia tersebut merasa mampu untuk memperbaiki sifat dan sikapnya tersebut, maka barulah dia bisa kembali bergaul dengan sesama manusia lainnya.

Solusi satire berikutnya yang disarankan oleh Imam Ghazali adalah tidur. Menurut beliau, tidur adalah saudara kembar kematian, sehingga orang yang benyak tidur sama saja dengan orang yang sudah mati, dan orang yang sudah mati pastinya tidak akan dapat menyakiti perasaan manusia lain, tetapi sekaligus juga tidak dapat memberikan manfaat apapun kepada sesama manusia lainnya.

Adapun solusi yang bernilai sebenarnya dari Imam Al Ghazali adalah menjadi manusia yang memiliki banyak manfaat kepada sesama manusia lainnya. Ya, menjadi manusia yang bermanfaat itu merupakan salahsatu jalan yang sebaik-baiknya untuk menaikkan derajat manusia itu sendiri. Khairunnas Anfa’uhum Linnaas, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi sesamanya.

Tentu saja, untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia lainnya, kita sebagai manusia harus selalu berusaha mendidik diri untuk menjadi manusia yang masuk ke dalam tingkat derajat yang pertama.

Jadi, dengan tingkat kesadaran sepenuhnya yang diri kita miliki saat ini, ada di tingkat keberapakah derajat nilai kemanusiaan diri ini?

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 9 Juli 2023/20 Dzulhijah 1444 H

Penulis adalah: Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Waketum PJMI/ Anggota PB Al Washliyah

Editor: Eddy Yusuf

Tinggalkan Balasan