
PERKASANEWS.COM – JAKARTA – Diperoleh data bahwa Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) menjelaskan, hasil tangkapan laut Indonesia adalah yang terbesar setelah China.
Pada 2020, hasil tangkapan laut China mencapai 11,7 juta ton dan Indonesia 6,43 juta ton.
Dalam hitungan rupiah, data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan nilai produksi perikanan laut 2020 mencapai Rp171,5 triliun. Sementara itu, nilai produksi perikanan non-laut hanya sumbang Rp15,03 triliun.
Tetapi, produksi perikanan laut Indonesia tinggi tidak selaras dengan nasib nelayannya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan dua hal berbeda. Lembaga itu mencatat, pada 2018, sebanyak 20-48% nelayan Indonesia berada dalam kemiskinan.
BPS mencatat, pada 2021, tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir mencapai 4,19%. Lebih tinggi dari tingkat kemiskinan ekstrem nasional di angka 4%. Lalu, sebanyak 12,5% atau setara 1,3 juta dari total penduduk miskin ekstrem bermukim di wilayah pesisir.
Menilik kenyataan ini, Kemenko Perekonomian menyalurkan Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung, dan Nelayan (BT-PKLWN) pada 2022.
BT-PKLWN 2022 ini secara spesifik menyasar 212 kabupaten dan kota yang masuk dalam Roadmap Program Pengentasan Kemiskinan Ekstrem nol persen di tahun 2024.
Besaran BT-PKLWN adalah Rp600.000/orang untuk 2,76 juta penerima. Dan, penerimanya adalah 1 juta PKLW dan 1,76 juta nelayan. Khusus untuk nelayan, kriterianya adalah mereka pelaku usaha kelautan dan perikanan yang merupakan nelayan buruh, nelayan penangkap ikan tanpa kapal, atau nelayan pemilik kapal kurang dari 5 GT (Gross Tonase).
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengamini perlunya bantuan ini.
Dani Setiawan, Ketua Umum DPP KNTI
“Ya, fenomena nelayan banyak yang hidup miskin, adalah kenyataan,” ujar Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) KNTI Dani Setiawan.
Ditambahkannya, kemiskinan umumnya dialami oleh nelayan kecil atau buruh nelayan. Menurut dia, nelayan kecil mencakup 90% dari total jumlah nelayan saat ini.
Memaknai UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam memuat definisi tentang nelayan. Yakni, setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Kemudian, nelayan itu terbagi atas nelayan kecil. Yakni, nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton (GT).
Ada pula nelayan tradisional, yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
Selanjutnya, nelayan buruh, yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha penangkapan ikan. Serta, nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki kapal penangkap ikan yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan dan secara aktif melakukan penangkapan ikan.
Sementara itu, soal risiko pekerjaan, Organisasi Buruh Dunia menguraikan, tiap orang layak untuk bekerja dengan aman di laut. Karena laut adalah sumber kehidupan manusia. Laut menyimpan potensi alam yang sangat luar biasa.
Namun, bekerja di laut menurut International Labor Organization (ILO) merupakan pekerjaan yang memiliki kriteria 3D–Dangerous, Dirty, Difficulty.
“Oleh karena itu, untuk dapat bekerja di laut, setiap orang harus memiliki pengalaman pengetahuan dasar tentang bekerja di laut,” ungkap Dani.
Dani lalu menguraikan, dengan risiko seperti itu, kemiskinan nelayan, terutama dialami nelayan kecil atau nelayan buruh.
“Kemiskinan nelayan memiliki dua dimensi. Satu dimensi yang sifatnya struktural, yang kedua dimensi natural,” jelas Dani.
Dani menjelaskan, dimensi struktural terdiri dari beberapa faktor. Pertama, semakin menyempitnya ruang penangkapan ikan bagi nelayan kecil. Ini disebabkan kompetisi dengan nelayan besar dan adanya aktivitas non-perikanan seperti pertambangan dan reklamasi.
“Akibatnya, para nelayan terpaksa melaut lebih jauh dengan ongkos melambung. Terutama untuk membeli bahan bakar yang harganya terus meningkat. Apalagi, Dani menyebut, bahan bakar mencakup 60-70% biaya melaut,” kata Dani.
Dani memaparkan, survei KNTI pada 2021 itu menemukan, 82% nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM bersubsidi. Karena mereka membeli BBM dengan harga yang lebih mahal di eceran, 30-40% lebih mahal.
Faktor lain yang berdampak pada kemiskinan nelayan adalah pemasaran produk perikanan yang tidak memberi perlindungan bagi nelayan. Tempat pelelangan ikan kerap kali tidak bisa memberi harga yang baik bagi nelayan.
Hubungan antara nelayan dan pengepul pun kerap eksploitatif. sehingga, nelayan tak punya daya tawar dalam menentukan harga.
Selain itu, nelayan kecil juga tidak memiliki skema perlindungan sosial. Pendapatan mereka nol ketika tidak bisa melaut akibat musim dan cuaca yang buruk. Alhasil, mereka berutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Faktor yang saya sebut kedua adalah faktor alamiah yang disebabkan perubahan lingkungan,” tukas Dani.
Diakui, perubahan lingkungan berdampak pada turunnya intensitas melaut. Tingkat kecelakaan di laut pun semakin tinggi. Tak hanya itu, migrasi ikan menjadi tak menentu dan zona penangkapan ikan berubah.
Indonesia belum memiliki indeks kesejahteraan nelayan yang mampu mengukur kesejahteraan nelayan secara akurat. Saat ini, hanya ada data-data makro terkait seperti tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir.
Adapun saat ini kesejahteraan nelayan diukur melalui Nilai Tukar Nelayan (NTN). NTN membandingkan harga yang dibayar dengan harga yang diterima nelayan. Jika harga yang diterima melebihi angka 100, pendapatan nelayan lebih tinggi dari pengeluaran mereka.
Berdasarkan data BPS, NTN nelayan laut ada di angka 123,12 pada Mei 2023. NTN ini terus meningkat secara perlahan dari angka 121,73 pada Januari 2023.
Meski begitu, Dani menilai NTN belum menunjukkan kesejahteraan nelayan secara menyeluruh.
“Pemerintah harus membuat itu sehingga kita bisa tahu langkah-langkah kebijakan apa yang perlu dilakukan untuk mendorong kesejahteraan nelayan,” papar Dani.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menguraikan lebih jauh. Kiara menjelaskan, hal dasar yang dibutuhkan nelayan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka adalah hak konstitusi.
“Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor III tahun 2010, nelayan itu punya yang disebut hak konstitusi. Hak konstitusi adalah hak untuk melintas dan mengakses lautnya, itu dasar banget,” ujar Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati.
Susan menjabarkan, saat ini hak itu sulit diperoleh lantaran maraknya perampasan ruang berupa kegiatan yang merusak kawasan pesisir. Terbaru adalah dibukanya keran ekspor pasir laut oleh Presiden Joko Widodo melalui PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.(*)
Pewarta: Eddy Yusuf
Editor: Eddy Yusuf
Foto: istimewa