Desember 1, 2023

OPINI

Baik, Benar, Versi Siapa…..?

Oleh: H. J. Faisal*

Semua orang bisa berkata “saya paham kok, bagaimana untuk hidup dengan menjalankan agama dengan baik, berdemokrasi dengan baik, bertoleransi dengan baik, berlalu lintas di jalan raya dengan baik, dan bersosial dengan baik….”

Ya, memang tidak ada yang melarang orang untuk mengatakan sesuatu seperti itu, dan tidak ada aturan juga yang melarang orang untuk mengeluarkan pemikiran seperti itu.

Berbicara tentang baik dan buruk, benar atau salah, sesuai dengan aturan atau menyimpang, sesungguhnya kita sudah berbicara mengenai tatanan nilai. Konsepsi tentang perlawanan dua kata sifat tersebut merupakan sebuah konsepsi nilai kemanusiaan yang memang sudah seharusnya ada dalam diri seorang manusia. Dan arti nilai sendiri adalah sebuah konsepsi yang di dalamnya terkandung kebaikan dan keburukan, juga kebenaran dan kesalahan. Karena itulah kita disebut manusia, bukannya monyet atau gorilla.

Mengapa saya membandingkan manusia dengan monyet dan gorilla, atau hewan primata lainnya? Sebab jika dilihat dari bentuk fisik luar dan anatomi dalam tubuh (internis), ada banyak kemiripan antara manusia, monyet dan gorilla dan mayoritas hewan primata lainnya di dunia ini. Bahkan menurut ahli primata dunia, Jane Goodal, kemiripan tersebut dapat mencapai derajat 95 persen lebih. Hanya dari akal, pemikiran dan nilai kemanusiaanlah yang membedakan kita dengan mereka.

Karena itulah sudah sewajarnya jika kita sebagai manusia selalu berusaha untuk menjadi manusia yang berakal dengan baik, berpikiran dengan baik, dan bernilai dengan baik, agar kedudukan kita tidak turun menjadi sejajar atau setara dengan monyet dan gorilla.

Adapun kandungan nilai-nilai baik dan buruk, benar dan salah, sesungguhnya mempunyai indikator dan ukuran-ukuran standar yang telah ditetapkan, baik oleh agama, peraturan masyarakat, peraturan negara, dan norma-norma berbangsa dan bernegara lainnya.

Dengan kata lain, jika kita sudah merasa bahwa apa yang sudah kita lakukan adalah sebuah kebaikan, pertanyaannya yang muncul kemudian adalah, apakah kebaikan-kebaikan kita tersebut memang sudah sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam agama, di dalam peraturan masyarakat dan di dalam peraturan negara? Atau jangan-jangan kita hanya merasa baik menurut versi diri dan pemikiran kita sendiri?

Kebaikan, keburukan, kebenaran maupun kesalahan yang terkandung dalam sebuah nilai sesungguhnya bersifat objektif, berdasarkan semua aturan atau norma-norma yang sudah ditetapkan oleh Tuhan, dan juga disepakati oleh sesama anggota masyarakat di dalam tatanan sosialnya.

Adapun contoh kecil tetapi sangat krusial adalah pemahaman nilai dalam berlalulintas, misalnya. Mari kita pahami dahulu Undang-Undang No. 22 tahun 2009, sebelum kita berlalulintas dan menjadi pengguna jalan raya. Dengan demikian, maka kita akan dapat memahami bagaimana cara atau etika mendahului kendaraan lain yang berada di depan kita, bagaimana etikanya menyalakan klakson, bagaimana etikanya untuk berhenti di pinggir jalan, bagaimana etikanya untuk memberi jalan kepada pengendara lain, bagaimana etikanya untuk keluar dari jalan yang kecil menuju ke jalan raya yang lebih besar, bagaimana etikanya berputar balik, bagaimana etikanya untuk tidak menyerobot jalur jalan yang bukan hak kita, dan sebagainya.

Semua hal tersebut wajib kita ketahui dan kita lakukan agar kita tetap menjadi seorang manusia yang bernilai, meskipun kita sedang dalam keadaan berlalu lintas. Jangan sampai kita yang awalnya seorang manusia, namun tiba-tiba menjadi seekor monyet atau gorilla ketika kita berlalulintas di jalan raya.

Contoh lain misalanya dalam kehidupan bertoleransi antar beragama. Toleransi dalam artian untuk menjalankan ibadah beragama, bukan berarti berbagai macam agama harus bercampur dan menjadi satu dalam satu acara ibadah atau dalam satu perayaan hari raya agama lain.

Kalau ini yang terjadi, maka hal ini tidak bisa disebut sebagai sebuah toleransi dalam beragama, tetapi lebih seperti sebuah sekte sesat yang terdiri atas berbagai macam agama atau kepercayaan yang menjadi anggotanya.

Seperti yang dilakukan oleh mereka yang berada di Pondok (bukan pesantren) Al Zaytun, dan beberapa kelompok masyarakat lainnya di Indonesia. Konsepsi nilai dalam toleransi seperti inilah yang sebenarnya dianggap baik menurut versi pemikiran dangkal mereka yang melakukannya, tetapi sesungguhnya sangat salah dan buruk menurut aturan dan norma agama, serta aturan dan norma masyarakat yang sebenarnya.

Semoga di hari Jumat yang mulia ini, kita semua dapat lebih menyadari bahwa nilai-nilai yang kita percayai dan kita ikuti kebenarannya, merupakan nilai-nilai yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama kita, khususnya Islam. Bukan nilai-nilai yang dihasilkan dari kedangkalan pemikiran manusia semata, yang penuh dengan segala macam motif, baik itu motif ekonomi, motif politik, maupun motif kekuasaan, yang tentu saja sangat tidak sesuai dengan tuntunan Allah Ta’alla dan Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam.

Allahumma sholli ala Muhammad.
Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 23 Juni 2023/4 Dzulhijah 1444 H

Penulis adalah:
*Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Waketum PJMI/ Anggota PB Al Washliyah

Tinggalkan Balasan